NAVIGATION
14. Page
الْحَمْدُ لِلَّـهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(Alhamdu li Allâh Rabb al-'âlamîn)
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam
﴾الْحَمْدُ﴿- al-hamd (“segala puji”)
Aspek nadzam bersama apa yang mendahuluinya:
Karena ﴾الرَّحْمنِ﴿- al-rahmân (Maha Pengasih) dan ﴾الرَّحِيمِ﴿- al-rahîm (Maha Penyayang) menunjukkan nikmat karunia ilahi, keduanya memerlukan pujian.
Selanjutnya, ﴾الْحَمْدُ لِلَّه﴿ - al-hamdu li Allâh (“segala puji bagi Allah”) diulang di empat surah dalam al-Qur'an,[1] setiap pengulangan mengacu pada salah satu dari karunia utama,[2] yang merupakan penciptaan pertama dan kekekalan di dalamnya, serta penciptaan terakhir dan kekekalan sesudahnya.
Aspek nadzam dalam konteks ini:
﴾الْحَمْدُ لِلَّه﴿ - al-hamdu li Allâh yang diletakkan di pembukaan surah al-Fâtihah dalam al-Qur'an adalah seperti menempatkan konsepsi tujuan akhir[3] al-Qur'an di bagian depan otak, sebab pujian merupakan bentuk ringkas ibadah, yang merupakan hasil dari penciptaan, dan merupakan bentuk ringkas pengetahuan Allah, yang merupakan hikmah dan tujuan (dari alam semesta). Jadi, menyebut pujian seolah-olah memahami tujuan akhir (al-Qur'an). Allah Yang Maha Mulia Maha Agung berfirman:
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ﴾
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku." (Qs. al-Dzariyat [51]: 56)
Selain itu, makna yang terkenal dari pujian adalah menampakkan sifat-sifat kesempurnaan.[4]
Implementasinya: Allah S.w.t menciptakan manusia dan menjadikannya ringkasan komprehensif dari alam semesta dan indeks[5] dari buku dunia, yang terdiri dari delapan belas ribu dunia,[6] dan di esensinya bersarang sampel dari masing-masing alam, di mana salah satu nama-Nya menjelma. Jika seseorang menghabiskan semua apa yang diberikan kepadanya di jalan yang untuknya ia diciptakan, untuk tujuan memenuhi syukur formal (syukr 'urfî) [7]-- yang termasuk dalam pujian (hamd) -- dan mematuhi syariat yang menghilangkan karat alam, maka masing-masing sampel tadi menjadi lampu yang menerangi dunianya, menjadi cermin baginya, bagi sifat yang terjelma di dalamnya, serta bagi nama yang akan ditampilkan darinya. Dengan demikian, melalui roh dan jasadnya, manusia menjadi ringkasan dari dunia
[1] Selain di al-Fatihah, kalimat itu disebut di dalam surah al-An'am, al-Kahfi, Saba', dan Fathir.
[2]Nadzm al-Durar 1/20.
[3]'Illat ghâiyah, maksudnya, alasan yang membuat sesuatu diciptakan untuknya. Al-Ta'rifat 1004.
[4]Nadzm al-Durar 6/147, al-Taqrir wa al-Tahbir 1/6, Durar al-Hukkam Syarh Ghurar al-Ahkam 1/301, Ruh al-Ma'ani 1/69, Dustur al-'Ulama' 2/44.
[5] Indeks (fihrist, dari bahasa Parsi) merupakan suplemen yang ditaruh di bagian depan atau belakang buku, yang memuat kandungan buku berupa topik pembahasan, nama-nama, pasal-pasal, bab-bab, yang ditata sedemikian rupa. Lihat al-Mu'jam al-Wasith 2/704.
[6] Imam Nursi menjelaskan masalah ini secara rinci di dalam "Surat Kedua Puluh Enam" dan di beberapa bagian Risalah al-Nur lainnya.
[7]Syukur 'urfi: Hamba menggunakan semua nikmat diberikan Allah S.w.t padanya berupa pendengaran, penglihatan, dan lain-lain, untuk tujuan penciptaannya. Di antara syukur bahasa (syukr lughawî) dan syukur formal terdapat sifat umum mutlak, begitu pula halnya di antara pujian formal (hamd 'urfî) dengan syukur formal. Sementara di antara pujian bahasa dan pujian formal terdapat sifat umum dan khusus dari satu aspek, sebagaimana di antara pujian bahasa dan syukur bahasa juga demikian. Di antara pujian formal dan syukur formal terdapat sifat umum mutlak, sebagaimana antara syukur formal dan pujian bahasa terdapat sifat umum dan khusus dari satu aspek, yang membedakan antara syukur bahasa dan pujian formal. Syukur bahasa adalah pernyataan tentang dzat yang indah berdasar aspek pengagungan dan terima kasih atas nikmat yang berasal dari lisan, perkataan, dan perbuatan. Lihat al-Ta'rifat 168-169.
15. Page
yang terlihat (syahâdah) dan yang tak terlihat (ghayb), serta memanifestasikan apa yang terwujud di dalam keduanya.
Melalui pujian (hamd), manusia menjadi tempat penampakan sifat kesempurnaan ilahi. Hal ini tersirat dalam pernyataan Muhyiddîn al-'Arabî [1] ketika menjelaskan hadits:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ لِيَعْرِفُوني
"Aku harta karun yang tersembunyi, maka Aku menciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku."[2]
Maksudnya, “Aku menciptakan makhluk untuk menjadi cermin di mana Aku bisa menyaksikan keindahan-Ku.”
﴾لله﴿ - li Allâh (“untuk Allah”)
Yakni, pujian (hamd) itu khusus untuk dan hanya cocok bagi Dzat Yang Paling Suci dan Paling Murni yang, meskipun terspesifikasi,[3] dapat dijelaskan melalui konsep "Yang Wajib Adanya (al-Wâjib al-Wujud)."[4] Sebab, terkadang sesuatu yang spesifik dapat dipahami melalui istilah umum. Sementara huruf lâm (li- pada li Allâh) ini terkait dengan kata kerja yang tersirat oleh maknanya sendiri,[5] seolah-olah (huruf) itu telah menyerap makna kata kerjanya.[6] Di dalam lâm juga terkandung isyarat keikhlasan dan tauhid.
﴾رَبِّ﴿ - rabb (Tuhan Pemelihara)
Yakni: (Dialah) yang memelihara alam semesta dengan semua bagian komponennya, yang masing-masing darinya merupakan alam sendiri seperti alam yang lebih besar; yang atomnya, seperti bintang-bintangnya, tersebar dan bergerak secara teratur.
Ketahuilah bahwa Allah Yang Maha Mulia Maha Agung telah menetapkan bagi tiap sesuatu titik kesempurnaannya. Dia menaruh di dalamnya kecenderungan ke arah (titik kesempurnaan), seolah-olah Dia memerintahkannya secara maknawi melalui kecenderungan ini untuk bergerak ke titik kesempurnaan tersebut. Dalam perjalanannya, ia membutuhkan hal yang dapat membantunya, dan ia menyingkirkan hal yang dapat menghambatnya, dan ini terjadi melalui pemeliharaan dari Allah S.w.t.
[1] Muhyiddin bin Ali bin Muhammad bin Arabi, Abu Bakar al-Hatimi al-Thai al-Andalusi, Muhyiddin Ibnu Arabi, yang dikenal dengan sebutan Syeikh Akbar: filosuf dari kalangan mutakallimin. Dia dilahirkan di Mursea (Andalusia), lalu pindah ke Isbilia. Dia banyak melancong, di antaranya mengunjungi Syam, negeri-negeri Romawi, Irak, dan Hijaz. Para ulama di Mesir menuduhnya menyimpang karena ucapan-ucapan anehnya (shathahat), sehingga sebagian mereka berusaha membunuhnya. Dia sempat ditangkap, namun berhasil dibebaskan oleh Ali bin Fath al-Bijai. Selanjutnya dia tinggal di Damaskus, dan wafat di sana tahun 638 H. Karyanya sekitar empat ratus kitab dan risalah, di antaranya al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fushush al-Hikam di bidang taaswuf dan psikologi. Lihat biografinya di al-A'lam 6/281, Wafawat al-Wafayat 2/241, Mizan al-I'tidal 3/108, Jami' Karamat al-Awliya' 1/118, dan Syidzrat al-Dzahab 5/190.
Imam Nursi menulis sejumlah catatan dan pelurusan seputar pemikiran Muhyiddin Ibnu Arabi mengenai ide wihdatul wujud di beberapa bagian terpidah-pisah di Risalah al-Nur.
[2] Tak dikenal sanad shahih atau dhaif terkait hadits ini. Hanya saja, Ali al-Qari berkata: Namun maknanya shahih, diambil dari firman-Nya, "Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku," yakni agar mereka mengenal-Ku, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas r.a. Lihat Mirqat al-Mafatih 10/365, al-Jidd al-Hatsits fi Bayan Ma Laysa bi Hadits 1/175.
[3]Ruh al-Ma'ani 1/77.
[4] Di dalam al-Maqshad al-Asna disebutkan: "... yang kami maksud dengan perkataan kami al-Wajib al-Wujud adalah Dia tidak membutuhkan sebab ('illat) dan pelaku (fâ'il), dan ini merujuk pada peniadaan sebab dari-Nya." Lihat al-Maqshad al-Asna 51. Di dalam Mafatih al-Ghayb disebutkan: "Perkataan kami Wajib al-Wujud bagi Dzat-Nya berarti bahwa esensi-Nya dan hakikat-Nya mewajibkan Wujud-Nya, serta semua hal yang semakna dengan itu. Maka Dia bebas dari ketiadaan dan kefanaan. Ketahuilah, segala yang wajib Wujud-nya bagi Dzat-Nya haruslah qadim dan azali, dan tidak mungkin sebaliknya; segala yang qadim dan azali pasti wajib Wujud-Nya bagi Dzat-Nya. Sebab, sesuatu tak mungkin ditentukan oleh sebab yang azali abadi lalu keberadaannya menjadi azali abadi disebabkan keberadaan sebabnya juga. Sesuatu ini menjadi azali abadi bersamaan dengan keberadaannya sebagai wajib wujudnya bagi dzatnya." Lihat Mafatih al-Ghayb 1/111.
[5] Ini makna majazi bagi "lam" yang menunjukkan bahwa "lam" memperoleh kemuliaannya dari bagian-bagian di sekitar lafadz jalalah (keagungan), sehingga ia tidak merasa perlu tergantung pada sesuatu yang sebaliknya. Perkataan ini tidak khusus terkait kaitan bahasa.
[6] Setelah membuang kata kerjanya. (T: 17)
16. Page
Jika engkau mengamati alam semesta, engkau akan melihatnya seperti manusia yang terdiri dari suku-suku dan bangsa, masing-masing secara individu dan kolektif sibuk dengan tugas yang telah ditetapkan Penciptanya, berusaha dengan sungguh-sungguh mematuhi hukum-hukum Penciptanya. Betapa menakjubkan bagaimana manusia begitu unik!
﴾الْعَالَمِينَ﴿ - al-'âlamîn (“semesta alam”)
Huruf yâ’ dan nûn adalah dua huruf akhiran yang bisa merupakan tanda gramatikal saja seperti nomor dua puluh ('isyrîn) dan tiga puluh (tsalâtsîn),[1] atau bisa untuk pluralitas (jam'iyyah). Sebab, komponen dari dunia adalah dunia-dunia, atau dunia ini tidak terbatas pada tata surya. Sebagaimana dikatakan penyair:[2]
الَحَمْدُ لله كَمْ لله مِنْ فَلَكٍ جرِي النّجُومُ بِهِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَر
Segala puji bagi Allah, betapa banyak falak-Nya!
Di sekelilingnya beredar bintang, matahari dan bulan.
Pluralitas digunakan untuk makhluk berakal, misalnya dalam ayat:
﴿رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِين﴾
"Aku melihat semuanya bersujud kepadaku." (Qs. Yusuf [12]: 4)
Ayat ini menunjukkan bahwa Ilmu Balaghah memandang semua komponen alam sebagai (makhluk) yang hidup, berakal, dan berbicara melalui bahasa kondisinya. Sebab, alam ('âlam) disebut demikian karena dengannya Sang Pencipta dikenal (yu'lam), serta (alam) itu bersaksi atas-Nya dan menunjuk kepada-Nya. Dengan demikian, (pemeliharaan makhluk alam tersebut) dan pengenalan (mereka terhadap Sang Pencipta) menunjukkan, seperti sujud, bahwa mereka seakan makhluk berakal.
[1] Yakni menunjukkan jamak mudzakkar salim.
[2] Bait ini mengacu pada Abu al-'Ala' al-Ma'ari di dalam Tafsir al-Razi. Lihat Mafatih al-Ghayb 1/18.