AL-FATIHAH AYAT 4

18. Page

Ayat 4

 

﴿ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

(Mâlik yawm al-dîn)

Penguasa hari kiamat

 

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ﴿ - mâlik yawm al-dîn (“Penguasa hari kiamat”)

Yakni, hari kebangkitan dan pembalasan.

Aspek nadzam:

Itu seakan-akan hasil dari apa yang mendahuluinya. Sebab, rahmat (belas kasih) merupakan salah satu bukti kiamat dan kebahagiaan abadi. Karena rahmat hanya akan menjadi rahmat dan nikmat hanya menjadi nikmat ketika kiamat tiba dan kebahagiaan abadi tercapai. Jika tidak, karena memikirkan perpisahan abadi, akal yang merupakan salah satu nikmat terbesar akan menjadi bencana bagi manusia, serta cinta dan kasih sayang yang merupakan jenis rahmat yang paling halus akan berubah menjadi duka lara yang sangat parah.

Jika engkau bertanya: Allah S.w.t adalah pemilik segala sesuatu selamanya, jadi mengapa Hari Kiamat ditentukan secara spesifik?[1]

Saya jawab: Itu untuk menunjukkan bahwa sebab-sebab lahiriah yang Allah S.w.t letakkan di alam penciptaan dan kehancuran untuk menunjukkan keagungan-Nya -- agar fungsi langsung dari tangan Qudrat tidak terlihat oleh pandangan akal pikiran dalam hal-hal yang tampaknya hina dalam aspek kekuasaan segala sesuatu -- akan dibangkitkan pada hari itu, dan aspek batinnya (malakûtiyyah) akan diwujudkan secara jelas dan transparan. Maka segalanya akan melihat dan mengetahui Tuhan mereka dan Pencipta mereka tanpa perantara.

Dan di dalam istilah "اليوم - al-yawm (hari)" terdapat isyarat tentang salah satu pertanda intuitif [2] dari kebangkitan, didasarkan atas kesesuaian yang jelas antara hari dan tahun, umur manusia dan perputaran bumi, sebagaimana pula antara jarum jam yang menghitung detik, menit, jam, dan hari-hari. Dengan demikian, orang yang melihat bahwa satu tangannya telah menyelesaikan perannya akan menduga secara intuitif bahwa sisi lainnya akan menyelesaikan perannya juga, meski dengan penundaan. Demikian pula, orang yang melihat kiamat telah terjadi berulang-ulang pada spesiesnya melalui contoh hari dan tahun ini akan menduga secara intuitif bahwa musim semi kebahagiaan abadi akan lahir pula pada pagi hari kiamat bagi manusia yang pribadinya seolah spesies (tersendiri).

Yang dimaksud dengan الدِّينِ﴿ - al-dîn:

Bisa berarti balasan, yaitu hari pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.[3]

Atau bisa berarti kebenaran agama, yakni: hari kebenaran agama akan bangkit dan akan benar-benar terwujud, serta ranah keyakinan akan menang terhadap ranah sebab-akibat. Karena, dengan mengaitkan sebab dan akibatnya, Allah S.w.t telah menempatkan sistem di alam semesta melalui kehendak-Nya, dan Dia mewajibkan manusia melalui tabiatnya, ilusinya, dan imajinasinya, untuk mematuhi sistem tersebut dan terikat dengannya. Selain itu, Dia telah mengarahkan segala sesuatu kepada-Nya dan Dia bebas dari pengaruh sebab-akibat dalam kekuasaan-Nya. Dia membebankan keyakinan dan keimanan kepada manusia agar mematuhi sistem ini dengan hati nurani dan spiritnya, serta terikat dengannya. Sebab di dunia ini, ranah sebab-akibat memenangi ranah keyakinan, sementara di akhirat kelak hakikat keyakinan akan memenangi ranah sebab-akibat.

Ketahuilah, masing-masing dari kedua ranah tadi memiliki posisi tertentu dan aturan khusus, sehingga masing-masing harus diberikan haknya.


[1] Di dalam "Mâlik yawm al-dîn." (T: 19)

[2]Hads: intuisi, cepatnya perpindahan otak dari dasar ke obyek, dan diterima pikiran. Intuisi merupakan kasyaf paling rendah, yaitu dugaan yang kuat. Lihat al-Ta'rifat 112.

[3] Lihat makna dan takwilnya lengkap dengan riwayatnya di Tafsir al-Thabari 1/68.




19. Page

Dengan demikian, orang yang melihat dari posisi dunia sebab-akibat dengan tabiatnya, ilusinya, dan imajinasinya, serta dengan kriteria sebab-akibat, terhadap ranah keyakinan, dia akan terpaksa menjadi Mu'tazilah.[1]

Sementara itu, orang yang melihat dari posisi keyakinan dan kriterianya dengan spiritnya dan hati nuraninya, terhadap ranah sebab-akibat, ia akan melahirkan semacam sikap tawakal yang malas [2] dan cenderung membantah kehendak Sang Pengatur.

 


[1] Muktazilah merupakan aliran teologi (kalâm) yang muncul pada permulaan abad kedua Hijriyah (80-131 H) di Basrah atau di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umayah. Muktazilan berkembang pesat di masa Bani Abbasiyah. Dalam membangun dasar akidah, kaum Muktazilah berpegang pada akal dan lebih mendahulukannya ketimbang naqli (teks agama). Menurut mereka, akal dan fithrah yang bersih mampu membedakan antara halal dan haram, lihat al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani 1/43, I'tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin 38, Mausu'ah al-Firaq wa al-Jama'at wa al-Madzahib al-Islamiyyah 358.

[2] Malas di sini mengacu pada Jabariyah, lihat al-Taj 28/145. Jabariyah berasal dari kata "al-jabr", yaitu menyandarkan perbuatan hamba kepada Allah S.w.t. Lihat al-Ta'rifat 101, dan Mausu'ah al-Firaq wa al-Jama'at wa al-Madzahib al-Islamiyyah 135.