AL-FATIHAH AYAT 5

20. Page

Ayat 5

 

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴿

(Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în)

kepada-Mu kami menyembah, dan kepada-Mu kami memohon pertolongan

 

إيَّاكَ نَعْبُد﴿ - iyyâka na'budu (“kepada-Mu kami menyembah”)

Di dalam huruf "kâf" terdapat “dua nuktah”:

Nuktah Pertama: Berdasarkan rahasia "menoleh"[1] langsung, yaitu perubahan ke orang kedua setelah penggunaan orang ketiga, maka akhiran pronominal "-ka" (-mu) menyiratkan sifat kesempurnaan yang disebutkan sebelumnya. Sebab penyebutan sifat itu sebelumnya satu demi satu merangsang otak, menyiapkannya, mengisinya dengan antusiasme, dan mengarahkan perhatian ke Dzat yang dijelaskan. Dengan demikian, إيَّاكَ﴿ - iyyâka berarti "Wahai Dia yang memenuhi syarat sifat-sifat ini!"

Nuktah Kedua: Penggunaan orang kedua menunjukkan bahwa, menurut ilmu balaghah, makna-makna harus diperhatikan (dan disampaikan dengan baik), sehingga ia akan dibaca seakan diwahyukan, dan ini akan membuat pihak kedua (merasa lebih) alami dan antusias. Karena itu, إيَّاكَ﴿ - iyyâka menyiratkan pelaksanaan seruan hadits:

اعْبُدْ رَبَّكَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ

"Sembahlah Tuhanmu seolah-olah engkau melihat-Nya."[2]

Pembicaraan bersama pihak lain (jamak orang pertama) dalam نَعْبُدُ﴿ - na'budu (“kami menyembah”) memiliki “tiga aspek”, yakni:

Pertama, kami menyembah, kami semua anggota tubuh dan atom mikrokosmos -- yaitu diriku sendiri -- dengan menyampaikan syukur formal ('urfî) yang diucapkan oleh semua (anggota tubuh dan atom tersebut) sesuai dengan apa yang telah diperintahkan.

Kedua, kami semua monoteis (ahli tauhid), kami menyembah-Mu dengan menaati syariat-Mu.

Ketiga, kami semua makhluk, kami menyembah[3] syariat-Mu yang terbesar yang fitri, dan kami bersujud dengan penuh rasa takjub dan cinta di bawah tahta keagungan dan qudrat-Mu.

 

  Aspek nadzam:

Sesungguhnya نَعْبُدُ﴿ - na'budu (“kami menyembah”) merupakan penjelasan dan tafsir terhadap الْحَمْدُ﴿ - al-hamd, serta merupakan hasil dan kemestian dari مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ﴿ - mâlik al-yawm al-din.

Ketahuilah, didahulukannya إيَّاكَ﴿ - iyyâka dimaksud untuk keikhlasan yang merupakan ruh ibadah, sedangkan penggunaan  "kâf" menunjukkan alasan ibadah, sebab Dzat yang bercirikan sifat-sifat ini, yang menyerukan pembicaraan langsung, layak mendapatkan ibadah.

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴿ - wa iyyâka nasta'în (“dan kepada-Mu kami meminta pertolongan”)

Ini sama dengan ﴾إيَّاكَ نَعْبُد﴿ - iyyâka na'budu (“kepada-Mu kami menyembah”) sehubungan dengan tiga kelompok tersebut di atas. Yakni, kami semua anggota tubuh, kami semua yang bertauhid, dan kami semua makhluk, kami semuanya memohon taufik dan pertolongan dari Engkau atas semua kebutuhan dan tujuan kami, yang paling penting di antaranya adalah beribadah kepada-Mu. Kata إيَّاكَ﴿ - iyyâka diulang kembali karena dimaksud untuk meningkatkan kenikmatan pembicaraan dan rasa kehadiran (hudlûr); karena posisi (maqâm) tatap muka lebih tinggi dan lebih mulia dari posisi pembuktian; karena kehadiran lebih menyeru pada kejujuran, dan agar tidak berbohong; dan karena beribadah dan memohon pertolongan merupakan dua hal yang berbeda, dua tujuan yang independen.


[1]Iltifat, menoleh, merupakan istilah balaghah, yakni berpindah dari pembicaraan gaib ke pembicaraan langsung, atau sebaliknya. Lihat al-Kulliyyat 169.

[2] Shahih al-Bukhari 1/27, Shahih Muslim 1/39.

[3] Menyembah di sini berarti tunduk, patuh, taat, dan mengakui. Lihat al-Mu'jam al-Wasith 2/579.




21. Page

Ketahuilah bahwa, terkait nadzam ﴾نَسْتَعِينُ﴿ - nasta'în dengan نَعْبُدُ﴿ - na'budu, hubungan antara keduanya menyerupai hubungan antara imbalan dengan pengabdian (khidmat). Sebab, ibadah adalah hak Allah atas hamba-Nya, sementara pemberian pertolongan merupakan kebaikan-Nya S.w.t atas hamba-Nya.

Dalam pembatasan إيَّاكَ﴿ - iyyâka (“hanya kepada-Mu”) terdapat isyarat bahwa melalui hubungan mulia ini, yakni beribadah dan berkhidmat kepada Allah S.w.t, sang hamba membebaskan diri dari sikap tunduk kepada sebab-akibat dan perantara; bahkan, perantara menjadi hambanya. Dan karena ia mengakui Dzat Yang Maha Esa saja, maka hukum ranah keyakinan dan hati nurani akan mendominasi, seperti telah disebutkan. Orang yang bukan benar-benar hamba Allah akan menjadi budak sebab-akibat dan dihinakan oleh perantara. Namun, sementara berada dalam ranah sebab-akibat, sang hamba hendaknya sama sekali tidak mengabaikan sebab-akibat agar tidak menjadi pemberontak terhadap sistem tatanan yang telah ditetapkan melalui hikmah dan kehendak-Nya S.w.t. Sebab sikap tawakal ketika berada dalam ranah sebab-akibat merupakan suatu kemalasan, seperti telah dibahas di atas.

Ini seperti hubungan pendahuluan dengan tujuan, sebab pertolongan dan taufik merupakan pendahuluan ibadah.