NAVIGATION
22. Page
﴾اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴿
(Ihdinâ al-sirâth al-mustaqîm)
Tunjukilah kami jalan yang lurus
﴾اِهْدِنَا﴿ - ihdinâ (“tunjukilah kami”)
Aspek nadzam:
Itu merupakan jawaban hamba atas pertanyaan Allah, seakan-akan Dia bertanya: "Apa tujuan paling dekat dengan hatimu?" Dan hamba itu menjawab: "Tunjukilah kami."
Ketahuilah bahwa ﴾اِهْدِنَا﴿ - ihdinâ, disebabkan karena banyaknya tingkatan maknanya -- didasarkan atas keragaman penerimanya yang terbagi menjadi mereka yang diberi petunjuk, mereka yang mencari petunjuk, mereka yang berusaha meningkatkan petunjuk, dan lain-lain -- seolah-olah itu diambil dari empat sumber atau empat mashdar dari perbuatan (fi'il) petunjuk.
Jadi, "Tunjukilah kami" berarti: "Kuatkanlah petunjuk bagi kami" jika kami merupakan masyarakat; "tingkatkan petunjuk bagi kami" jika kami merupakan komunitas jamaah; "sukseskan petunjuk bagi kami" jika kami merupakan suku; dan "berilah petunjuk pada kami" jika kami merupakan suatu kelompok.
Juga, Allah S.w.t membuat ketentuan:
﴿أعْطَى كُلَّ شَيْء خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى﴾
"(Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." (Qs. Thaha [20]: 50)
Menurut ketentuan ini, Allah menunjuki kita dengan memberi kita indera-indera lahir dan batin.
Kemudian Dia menunjuki kita dengan menempatkan bukti-bukti di dunia luar dan dalam diri kita.
Kemudian Dia menunjuki kita dengan mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci.
Kemudian Dia menunjuki kita melalui hidayah terbesar, dengan menyingkap tirai penutup kebenaran, sehingga kebenaran tampak sebagai kebenaran dan kebatilan tampak sebagai kebatilan.
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اِتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.
Ya Allah! Tampakkan kepada kami kebenaran sebagai kebenaran, dan berilah kami rezeki untuk mengikutinya, dan tampakkan kepada kami kebatilan sebagai kebatilan, dan berilah kami rezeki untuk bisa menghindarinya.
﴾الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴿ - al-shirât al-mustaqîm (“jalan yang lurus”)
Ketahuilah, jalan lurus adalah keadilan, yang merupakan ringkasan dari kebijaksanaan (hikmah), budi luhur (‘iffah), dan keberanian (shajâ'ah) yang merupakan jalan tengah dari tiga tingkatan yang terdapat dalam tiga kekuatan (manusia).[1]
Penjelasannya:
Ketika Allah S.w.t menempatkan ruh di dalam tubuh manusia, yang berubah, yang membutuhkan, dan yang terkena bahaya, Dia menaruh "tiga kekuatan" di dalamnya untuk memastikan keberadaannya terus berlanjut.
Pertama: "Kekuatan syahwat" (quwwat syahwiyyah) hewani untuk menarik manfaat.
Kedua: "Kekuatan gairah semangat" (quwwat ghadhabiyyah) liar untuk menangkal hal yang berbahaya dan merusak.
Ketiga: "Kekuatan intelek" (quwwat 'aqliyyah) kemalaikatan untuk membedakan antara manfaat dan bahaya.
[1]Mafatih al-Ghayb 1/206.
23. Page
Namun, karena hikmat-Nya menuntut bahwa manusia harus mencapai kesempurnaan melalui misteri kompetisi, Allah menempatkan batasan bawaan pada kekuatan ini, seperti yang dilakukan-Nya terhadap makhluk hidup lainnya. Namun, Dia membatasi mereka melalui syariat, yang melarang perbuatan keterlaluan (ifrâth) dan hidup berkekurangan (tafrîth), serta memerintahkan jalan tengah atau moderat (wasath). Inilah yang disimpulkan oleh ayat:
﴿فَاسْتَقِمْ كَما أُمِرْت﴾
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar." (Qs. Hud [11]: 112)
Dengan tiadanya batasan bawaan, muncullah "tiga tingkatan":
Tingkat kekurangan, yang merupakan cacat (tafrîth).
Tingkat kelebihan, yang merupakan perbuatan keterlaluan atau berlebihan (ifrâth).
Tingkat tengahan, yaitu keadilan ('adl).
Dengan demikian, kurang dalam "kekuatan akal/intelek" (tafrîth al-quwwah al-‘aqliyyah) merupakan kebodohan dan ketololan, serta keberlebihannya (ifrâth) merupakan pengelabuhan yang menipu dan ketelitian yang mendalam. Sementara jalan tengah dari "kekuatan intelek" merupakan hikmah (kebijaksanaan).
﴿وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا﴾
"Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak." (Qs. al-Baqarah [2]: 269)
Ketahuilah, sebagaimana asal kekuatan ini bervariasi ke dalam beberapa tingkatan, begitu juga setiap cabangnya bervariasi menjadi tiga.
Misalnya: Dalam masalah penciptaan perbuatan (manusia): Mazhab Ahlus Sunnah berada di jalan tengah antara Jabariyah dan Mu'tazilah,[1] sedangkan dalam masalah akidah, mazhab Tauhid berada di jalan tengah antara penolakan sifat ilahi (ta'thîl) dan antropomorfisme (tasybîh).[2] Engkau dapat membuat contoh lebih lanjut dengan cara melakukan qiyas seperti ini.
Kurang dalam "kekuatan syahwat" (menyebabkan orang) bersikap apatis dan tidak menginginkan sesuatu, sedangkan kelebihannya adalah pemborosan, yang (membuat orang) menginginkan apa pun yang ditemuinya, halal atau haram. Jalan tengahnya adalah budi luhur (‘iffah), yang (membuat orang) menginginkan sesuatu yang halal dan menghindari yang haram. Engkau bisa menerapkan prinsip yang berlaku pada kekuatan ini untuk setiap cabangnya, seperti makan, minum, berpakaian, dan sebagainya.
Kurang dalam "kekuatan marah" adalah sikap pengecut, yaitu, takut terhadap apa yang tak perlu ditakuti, dan merupakan angan-angan menyesatkan. Kelebihannya adalah kemarahan tak terkendali, yang merupakan nenek moyang dari despotisme, dominasi, dan tirani. Dan jalan tengahnya adalah keberanian, yaitu pengorbanan diri dengan cinta dan semangat untuk membela ajaran Islam dan menegakkan kalimat tauhid. Engkau dapat menerapkan prinsip ini terhadap masing-masing cabangnya.
Keenam sikap ekstrem tersebut merupakan kezaliman, dan ketiga jalan tengahnya adalah keadilan, yang merupakan jalan lurus, yakni bertindak sesuai dengan firman:
﴿فَاسْتَقِمْ كَما أُمِرْت﴾
[1] Kaum Muktazilah menyangkal peciptaan perbuatan manusia. Menurut mereka, perbuatan manusia bukanlah makhluk ciptaan Allah. Sedangkan kaum Jabariyah menafikan kemampuan hamba untuk melakukan perbuatan. Mereka menilai manusia bukanlah seorang pelaku aktif, tapi hanya disebut pelaku dalam pengertian majaz. Lihat al-Tauhid 322, al-Ibanah 'an Syari'at al-Firqah al-Najiyah 1/164. Dalam (T: 24): "Jabariyah bersikap ekstrem (ifrath) karena melarang manusia untuk berbuat, dan Muktazilah bersikap cacat (tafrîth) karena mengakui pemberian pengaruh pada manusia, sedangkan Ahlus Sunnah bersikap di tengah-tengah atau moderat (wasat) karena mengakui permulaan perbuatan manusia itu sebagai kehendak parsial dan akhirnya sebagai kehendak universal."
[2]Ta'thîl adalah penafian sifat-sifat kesempurnaan Allah S.w.t, sedangkan tasybîh adalah penyamaan sifat Allah S.w.t dengan sifat makhluk ciptaan-Nya. Lihat Kassyaf Istilahat al-Funun 1/485, Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyyah karya al-Hurras 67, Fathu Rabb al-Bariyyah 15, Mausu'ah Musthalahat 'Ilm al-Kalam karya Sami' Dughaim 1/311, Mausu'ah al-Firaq wa al-Jama'at wa al-Madzahib al-Islamiyyah 356, 370.
24. Page
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar." (Qs. Hud [11]: 112)
Orang yang melewati sepanjang jalan ini akan menyeberangi jembatan yang membentang di atas api.