AL-FATIHAH AYAT 7

25. Page

Ayat 7

 

﴿صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

(Shirâth alladzîna an'amta 'alayhim ghayri al-maghdûbi ‘alayhim wa lâ al-dlâllîn)

Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai

 

﴿صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِم﴾  - shirâth alladzîna an'amta 'alayhim (“jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat”)

Ketahuilah: Nadzam (susunan) kata-kata al-Qur'an tidak seperti mutiara (yang diuntai) pada satu benang. Tapi, nadzamnya kebanyakan merupakan sulaman yang dihasilkan dari jalinan hubungan benang yang berbeda-beda, dekat dan jauh, terlihat dan tersembunyi. Sebab, dasar kemukjizatan (i'jâz), setelah keringkasan (îjâz), adalah sulaman ini.

Misalnya, ﴿صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِم﴾   - shirâth alladzîna an'amta 'alayhim memiliki hubungan dengan:

﴿الْحَمْدُ لِلَّهِ﴾ - alhamdulilllâh, karena karunia nikmat adalah konsekuensi dari "pujian";

﴿رَبِّ الْعَالَمِين﴾ - rabb al-‘âlamîn, karena kesempurnaan pemeliharaan berlangsung melalui penganugerahan nikmat secara terus-menerus;

 ﴿الرَّحْمَنِ الرَّحِيم﴾ - al-rahmân al-rahîm, karena penerima rahmat -- yakni para nabi, para syuhada, dan para shalihin -- merupakan rahmat bagi semesta alam dan contoh jelas rahmat;

﴿مَالِكِ يَوْمِ الدِّين﴾ - mâlik yawm al-dîn, karena agama (al-dîn) merupakan nikmat yang sempurna;

﴿نَعْبُدُ﴾ - na’budu, karena mereka merupakan pemuka (dalam beribadah);[1]

﴿نَسْتَعِينُ- nasta’în, karena mereka telah diberi taufik (keberhasilan dalam permintaan doa mereka);

﴿اهْدِنَا﴾ - ihdinâ, karena mereka adalah model terbaik, sesuai rahasia ayat:

﴿فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

"Maka ikutilah petunjuk mereka" (Qs. al-An'am [6]: 90).

﴿الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم﴾ - al-shirâth al-mustaqîm karena tampak jelas bahwa jalan yang lurus terbatas pada jalan mereka. Inilah beberapa contoh, agar engkau dapat melanjutkan kias dengan cara yang sama.

Di kata ﴿الصِّرَاطَ﴾  - al-shirâth (“jalan”) terdapat indikasi bahwa jalan mereka dapat dilalui, dan memiliki sisi-sisi yang telah dibatasi, sehingga orang yang berjalan di atasnya tidak akan menyimpang darinya.

Di kata ﴿الَّذِينَ﴾ - alladzîna (“orang-orang yang”) -- karena merupakan kata ganti relatif, dan fungsi kata ganti relatif adalah mengungkapkan hal-hal yang diketahui pendengar[2] -- merupakan petunjuk tentang tingginya tingkatan mereka, dan betapa bercahayanya mereka di kegelapan manusia, seolah-olah merekalah yang begitu jelas bagi setiap pendengar, bahkan kalau pun dia tidak mencari mereka. Sementara sebagai bentuk jamak, kata itu menunjukkan kemungkinan mengikuti jalan mereka, dan kebenaran jalan mereka, sebab:

يَدُ الله مَعَ الْجَمَاعَةِ

"Tangan Allah bersama dengan jamaah."[3]

Dalam penggunaan kata kerja masa lalu untuk ﴿ أَنْعَمْتَ ﴾ - an'amta (“Engkau beri nikmat”), terdapat isyarat sarana untuk meminta nikmat lebih lanjut lagi. Dan penggunaan orang kedua di kalimat tadi, dengan berbicara langsung kepada Allah, menunjukkan bahwa itu merupakan perantara, seolah-olah ada

[1] Sebab mereka pemimpin dalam hal ibadah (T: 25)

[2] Kata ganti relatif (penghubung) termasuk kata benda yang dikenal (ma'rifah). Karena itu, ia dikenal dan diketahui oleh pendengar. Ibnu 'Usfur berkata, "Kata penghubung dalam definisi sama kedudukannya seperti yang dikenali dengan alif dan lam."Syarah Jamal al-Zujaji 1/207.

[3] Lihat haditsnya di Sunan al-Tirmidzi 4/466 hadits nomor 2166, disebut sebagai hadits hasan gharib; juga di Shahih Ibnu Hibban 10/438 hadits nomor 4277.




26. Page

yang mengatakan: "Ya Tuhanku! Engkau adalah pemberi nikmat, dan Engkau telah memberikan nikmat sebelumnya dengan keutamaan-Mu; maka berilah nikmat kepadaku lagi, meskipun aku tidak layak."

Di dalam ﴿عَلَيْهِم﴾ - 'alayhim (“pada mereka”) terdapat isyarat mengenai beratnya beban risalah dan beban pemberian tugas (taklîf), serta isyarat bahwa para rasul itu seperti gunung tinggi yang mendapat curahan hujan deras sehingga membanjiri padang tandus. Dan karena satu bagian al-Qur'an menguraikan bagian yang lain, maka apa yang terkandung di dalam makna ayat ﴿الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِم - alladzîna an’amta ‘alayhim itu telah ditafsirkan oleh ayat lain:

﴿فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِييِّنَ والصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء والصَّالِحِين

"Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh." (Qs. al-Nisa' [4]: 69)!

Jika engkau bertanya: Jalan yang ditempuh para nabi begitu beragam, dan ibadah mereka pun berbeda-beda?

Engkau akan dijawab: Para nabi semuanya mengikuti prinsip-prinsip keimanan dan aturan-aturan dasar, karena ini sifatnya konstan dan tetap; tidak seperti hal-hal sekunder, yang sifatnya berubah-ubah sepanjang waktu. Sebagaimana empat musim dan tahapan umur manusia mempengaruhi keragaman obat dan pakaian manusia -- betapa obat pada satu waktu dapat menyebabkan penyakit di lain waktu -- demikian pula tahapan kehidupan spesies manusia mengharuskan adanya perbedaan aturan-aturan yang kepentingannya sekunder, yang merupakan obat bagi ruh dan makanan bagi hati.

 

﴿غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِم  - ghayri al-maghdlûbi 'alayhim (“bukan orang-orang yang Engkau murkai”)

Aspek nadzam:

Ketahuilah, karena maqam ini menjadi maqam ketakutan dan pelepasan, maka maqam ini memiliki hubungan dengan maqam-maqam sebelumnya. Sebab seseorang memandang dengan perasaan bingung dan ngeri terhadap maqam rububiyah yang ditandai dengan keagungan dan keindahan; ia melihat dengan pandangan mencari perlindungan terhadap maqam ibadah di ﴿نَعْبُدُ﴾ ("kami menyembah"); ia melihat dengan perasaan lemah terhadap maqam tawakal di ﴿نَسْتَعِينُ("kami meminta pertolongan"); dan ia melihat dengan sikap mencari penghiburan terhadap pendampingnya yang tetap, yaitu, maqam harapan dan bantuan. Sebab, yang terjadi pertama-tama di hati orang yang melihat sesuatu yang mengerikan adalah rasa bingung, kemudian kecenderungan ingin melarikan diri, kemudian bertawakal kepada Allah saat menyadari dirinya tak mampu, dan setelah itu ia mendapatkan penghiburan.

Jika engkau bertanya: Allah S.w.t itu Maha Bijaksana dan Maha Kaya, maka apa hikmah dalam penciptaan kejahatan, keburukan, dan kesesatan di dunia?

Engkau akan dijawab: Ketahuilah bahwa kesempurnaan, kebaikan, dan keindahan pada dasarnya itulah yang dimaksudkan dengan dzat, dan itu sifatnya universal. Kejahatan, keburukan, dan cacat, sifatnya relatif parsial dibanding dengannya, serta kecil, ikutan, dan tak dikenal dalam penciptaan. Penciptanya membuatnya tersebar di antara kebaikan dan kesempurnaan, tidak untuk dirinya sendiri, tetapi sebagai pendahuluan dan unit pengukuran untuk penampilan -- bahkan untuk keberadaan -- dari kebenaran relatif pada kebaikan dan kesempurnaan.

Jika engkau bertanya: Jadi apa pentingnya kebenaran relatif sehingga karenanya kejahatan parsial disetujui?

Engkau akan dijawab: Kebenaran relatif adalah ikatan-ikatan di antara makhluk, yang darinya ditenun sistemnya. Itulah obor yang darinya dipantulkan satu wujud (spesies unik). Kebenaran relatif (memiliki nilai) lebih banyak ribuan kali dari kebenaran hakiki. Jika sifat hakiki seseorang berjumlah tujuh, maka kebenaran relatifnya akan berjumlah tujuh ratus. Sebuah kejahatan yang lebih kecil mungkin diampuni, bahkan mungkin dianggap baik demi kebaikan yang lebih besar. Sebab, meninggalkan kebaikan yang lebih besar karena mengandung beberapa kejahatan yang lebih kecil, itu merupakan suatu kejahatan besar. Dan dalam pandangan hikmah, jika kejahatan kecil bertemu kejahatan yang lebih besar, maka 

27. Page

kejahatan yang kecil tadi menjadi kebaikan (relatif) melalui unsur eksternal, sebagaimana telah ditetapkan dalam prinsip zakat dan jihad, misalnya.

Sudah masyhur bahwa, "Sesuatu hal diketahui melalui kebalikannya," yang berarti bahwa adanya hal-hal yang sebaliknya merupakan penyebab manifestasi dan eksistensi kebenaran relatif. Misalnya, jika tidak ada keburukan dan ia tidak menyerap keindahan, eksistensi keindahan dengan derajatnya yang tak terbatas tidak akan tampak jelas.

Jika engkau bertanya: Apa alasan dibeda-bedakannya bentuk ketiga kata-kata berikut: أَنْعَمْت﴿ - an'amta sebagai kata kerja (fi'il), ﴿الْمَغْضُوب  - al-maghdlûb sebagai partisip pasif (isim maf'ûl), dan  ﴿الضَّالِّينَ - al-dhâllin sebagai partisip aktif (isim fâ'il)?

Juga, apa alasan perbedaan penyebutan: sifat pada kelompok ketiga, akibat dari sifatnya pada kelompok kedua, dan istilah yang tepat untuk sifat kelompok pertama?

Engkau akan dijawab: Istilah nikmat dipilih karena nikmat merupakan kesenangan yang disukai jiwa, dan (istilah) itu berbentuk kata lampau sebagai isyarat bahwa Dzat Yang Dermawan Mutlak tidak pernah mengambil kembali apa yang telah diberikan-Nya.

Juga, dengan memperlihatkan kebiasaan Dzat Pemberi nikmat, hal itu menunjukkan cara mencapai apa yang diminta, seolah-olah ia berkata: "Karena Engkau sudah biasa memberikan nikmat, dan Engkau telah memberikannya sebelumnya, maka berikanlah nikmat itu kepadaku."

Adapun ﴿غَيْرِ الْمَغْضُوب - ghayr al-maghdlûb (“bukan orang-orang yang Engkau murkai”), maksudnya: orang-orang yang melampaui batas kekuatan marah (quwwah ghadhabiyyah), sehingga melakukan kezaliman dan kefasikan dengan meninggalkan aturan hukum sebagaimana kebandelan orang-orang Yahudi.

Karena pada esensi kefasikan dan kezaliman terdapat kesenangan durjana dan kebanggaan kotor yang tidak menyebalkan jiwa, al-Qur'an menyebutkan konsekuensi yang memuakkan setiap jiwa, yaitu turunnya kemurkaan Allah S.w.t. Dan dipilihnya (bentuk kata) partisip pasif yang bermakna keberlanjutan, itu merupakan isyarat bahwa pembangkangan dan kejahatan akan menjadi tanda (noda) yang hanya bisa dihilangkan melalui pertobatan dan pengampunan.

Adapun ﴿وَلاَ الضَّالِّين﴾ - wa lâ al-dlâllîn (dan orang-orang sesat), maksudnya: orang-orang yang menyimpang dari jalan (lurus) karena ilusi dan hawa nafsu telah menguasai akal dan hati nurani, dan mereka jatuh ke dalam kemunafikan melalui keyakinan palsu sebagaimana kerancuan orang-orang Nasrani. Al-Qur'an memilih penggambaran demikian karena kesesatan itu sendiri merupakan penyakit, memuakkan jiwa, dan roh menghindarinya bahkan sebelum melihat hasilnya. Dan (bentuk kata) partisip aktif sengaja dipilih karena kesesatan akan tetap menjadi kesesatan selama itu tidak dihentikan.[1]

Dan ketahuilah, semua rasa sakit terdapat di dalam kesesatan dan semua kenikmatan terletak dalam keimanan.

Jika engkau suka, perhatikanlah kondisi seseorang, ketika tangan qudrat mengeluarkannya dari gelapnya ketiadaan ('adam) serta melemparkannya ke dunia -- sebuah padang luas dan menakutkan. Ketika ia membuka matanya mencari kasih sayang, ia melihat penderitaan dan bencana seperti musuh yang menyerangnya. Mencari belas kasihan, ia pun memandangi unsur-unsur dan sebab-sebab alamiah, dan ia menemukannya berhati sekeras batu tanpa kasih sayang, serta memperlihatkan gigi-giginya kepadanya. Mencari bantuan, dia mengangkat kepalanya ke benda-benda tinggi (di angkasa), dan melihatnya begitu menggentarkan dan mencekam, yang mengancamnya seolah-olah peluru-peluru berapi yang keluar dari mulut-mulut dahsyat yang berlalu di sekelilingnya. Dia merasa bingung, lalu menurunkan kepalanya, bersembunyi, seraya merenungkan dirinya. Kemudian dia mendengar ribuan jeritan kebutuhan dan erangan keinginannya. Dia merasa ketakutan, kemudian dia melihat hati nuraninya untuk mencari perlindungan, dan di sana dia melihat ribuan harapan besar serta luar biasa yang tidak dapat dipenuhi di dunia.


[1] Sebab penghentiannya termasuk ke lingkup permaafan. (T: 29)




28. Page

Demi Allah, bagaimana kondisi orang ini jika dia tidak mempercayai penciptaan pertama, kebangkitan, Sang Pencipta, dan pengumpulan di Padang Mahsyar (hasyr)? Adakah engkau mengira penderitaan neraka akan lebih parah dari kondisinya, dan lebih membakar bagi jiwanya? Sebab kondisinya merupakan gabungan dari perasaan cemas, takut, lemah, gentar, gelisah, piatu, dan putus asa. Sebab, jika dia memperhatikan kembali kemampuannya, dia melihat dirinya rapuh dan lemah. Jika dia mencoba untuk meredakan kebutuhannya, dia akan menyadari bahwa itu tak dapat dibungkam. Jika dia berteriak dan meminta bantuan, dia tidak akan didengar dan tidak akan dibantu. Dia menganggap semuanya memusuhinya. Ia mengkhayalkan segalanya aneh, sehingga dia tak merasakannya bersabahat. Dia melihat peredaran benda langit hanya dengan rasa takut, bingung, dan cemas, yang mengganggu hati nuraninya.

Sekarang, bayangkan keadaan orang ini jika dia berada di Jalan Lurus, sementara hati nurani dan rohnya diterangi cahaya keimanan: engkau akan melihat bahwa ketika dia memasuki dunia ini, membuka matanya, lalu dia melihat serangan dari semua yang ada di sekitarnya, dia pun segera melihat "titik sandaran," sumber tempatnya memperoleh dukungan dalam menghadapi serangan gencar ini, yaitu pengetahuan tentang Sang Pencipta (ma'rifat al-shâni'), sehingga dia akan mendapat ketenangan.

Kemudian, jika dia memeriksa potensi kesiapannya dan harapannya yang membentang luas ke keabadian, dia akan melihat suatu sumber "titik permintaan bantuan." Dia dapat meminta bantuan untuk harapannya kepadanya, serta darinya dia dapat mengambil air kehidupan, yang merupakan pengetahuan tentang kebahagiaan abadi.

Dan jika dia mengangkat kepalanya dan memandang alam semesta, dia akan merasakan keakraban dengan segala sesuatu; matanya akan mendapatkan keakraban dan kasih sayang yang datang dari setiap bunga. Dalam gerakan benda-benda langit itu, dia akan melihat hikmah Sang Pencipta benda-benda tadi. Dia akan menikmati peredarannya. Dia akan menatapnya dengan semangat mengambil pelajaran dan tafakur. Seolah-olah matahari memanggil dia, seraya berkata: "Saudaraku! Jangan takut, aku menyambut kedatanganmu. Kita berdua adalah hamba Dzat Yang Maha Esa, yang taat kepada perintah-Nya." Bulan, bintang, lautan, dan saudara-saudara mereka, masing-masing akan memanggilnya dengan lidah khususnya. Dengan melambai padanya, mereka akan mengatakan: "Selamat datang! Bukankah engkau mengenal kami? Kami semua sibuk berkhidmat kepada Dzat Pemilikmu. Maka jangan engkau merasa khawatir, cemas, atau takut oleh ancaman bencana dengan giginya yang menyeringai, sebab kendali segala sesuatu berada di tangan Penciptamu."

Demikianlah, orang yang berada dalam situasi pertama tersebut merasakan rasa sakit yang mengerikan di kedalaman lubuk hatinya. Dia akan terdorong untuk melepaskan diri darinya, menenangkan diri, dan melipur inderanya melalui hiburan, berpura-pura lupa, dan menyibukkan diri dengan hal-hal sepele, demi menipu hati nuraninya dan agar ruhnya tertidur. Jika tidak, dia akan merasakan rasa sakit akut yang membakar di kedalaman hati nuraninya, dan dampak sakitnya akan semakin tampak jelas sesuai tingkat jarak jauhnya dari jalan yang benar.

Adapun di situasi kedua, orang tersebut akan merasakan di kedalaman jiwanya kenikmatan tinggi dan kebahagiaan langsung. Setiap kali kalbunya bangkit, hati nuraninya tergerak, dan jiwanya tersentuh, kebahagiaannya akan bertambah, dan dia akan menerima kabar baik bahwa pintu surga-surga spiritual sedang terbuka lebar baginya.


اَللَّهُمَّ بِحُرْمَةِ هذِهِ السُّورَةِ اجْعَلْنَا مِنْ أهل الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ.

Ya Allah, demi kehormatan surah ini, jadikanlah kami termasuk golongan jalan lurus.