NAVIGATION
90. Page
Sinar Keenam[h1]
Sinar ini terdiri dari dua noktah saja
بسم الله الرحمن الرحيم
Jawaban untuk dua pertanyaan seputar dua noktah kalimat;
التحيات المباركات الصلوات الطيباب لله
“Segala penghormatan, berkah, dan pengagungan untuk Allah,” dan seterusnya.
Dalam “sinar keenam” ini, kami akan menjelaskan dua noktah saja di antara ratusan noktah hakikat ini secara singkat, sementara hakikat-hakikat tasyahud yang lain akan kami bahas pada waktu lain.
Pertanyaan pertama;
Apa hikmah bacaan kalimat tasyahud dalam shalat, padahal kalimat tasyahud adalah pembicaraan antara Al-Haq Ta’ala dengan Rasul-Nya pada malam Mi’raj?
Jawab; shalat bagi setiap mukmin merupakan mi’raj baginya dalam batasan tertentu. Adapun kalimat-kalimat yang pantas bagi kitab tersebut adalah kalimat-kalimat yang disebut dalam Mi’raj Muhammad terbesar.
Dengan membaca kalimat-kalimat ini akan mengingatkan pembicaraan suci itu, dan dengan ingatan ini, makna-makna kalimat yang diberkahi ini akan terangkat naik dari bagian kecil menuju bagian menyeluruh, dan makna-makna suci nan menyeluruh itu akan terbayang, atau membayangkannya. Melalui bayangan ini, nilai dan cahaya kalimat-kalimat tasyahud akan terangkat tinggi dan meluas.
Contoh; pada malam itu, Rasul mulia Saw. mengucapkan salam penghormatan berikut sebagai ganti ucapan salam, “Segala penghormatan milik Allah semata.” Artinya, seluruh tasbih makhluk hidup yang ditampakkan melalui kehidupan mereka semua, seluruh hadiah fitrah yang mereka persembahkan kepada Sang Pencipta. Semua itu hanya untukmu, ya Rabb! Saya persembahkan semua itu untuk-Mu dengan bayangan dan keimanan saya.
Ya, seperti halnya Rasul mulia Saw. bermaksud bahwa kalimat “segala penghormatan hanya untuk Allah” sebagai bentuk ibadah fitrah seluruh makhluk hidup yang mereka persembahkan kepada Rabb, seperti itu juga dengan kalimat “segala berkah” yang merupakan inti dari segala penghormatan, mencerminkan keberkatan fitrah seluruh makhluk yang merupakan sebab berkah dan penghormatan yang dianggap membawa berkah, serta membuat segala sesuatu mengucapkan, “Barakallah.” Juga sebagai inti kehidupan seluruh makhluk hidup, khususnya benih, biji-bijian, dan telur, serta mencerminkan keberkatan dan ubudiyah mereka semua, untuk selanjutnya mereka persembahkan makna nan luas tersebut kepada Sang Pencipta.
Dengan kalimat “segala pengagungan” yang merupakan inti “segala berkah,” terbayang ibadah-ibadah khusus para makhluk bernyawa yang merupakan inti seluruh makhluk hidup, untuk selanjutnya makna-maknanya yang menyeluruh mereka persembahkan kepada kitab ilahi.
Dengan kalimat “segala kebaikan” yang merupakan inti dari “segala penghormatan,” Nabi Saw. memaksudkan ibadah terang, luhur dan tinggi milik orang-
[h1]6
91. Page
orang sempurna, juga milik para malaikat yang didekatkan, yang merupakan inti seluruh makhluk bernyawa, lalu beliau persembahkan secara khusus kepada Zat yang disembah.
Seperti halnya khitab dari Al-Haq Ta’ala “Semoga kesejahteraan terlimpah kepadamu, wahai nabi,” mengisyaratkan dalam bentuk perintah bahwa setiap satu di antara ratusan juta manusia setiap harinya membaca, “Semoga kesejahteraan terlimpah kepadamu, wahai nabi,” minimal sepuluh kali. Salam ilahi ini memberikan cahaya nan luas dan makna nan luhur pada kalimat tersebut. Demikian halnya menemui Rasul mulia melalui bacaan, “Semoga kesejahteraan terlimpah kepada kami, dan hamba-hamba Allah yang shalih,” menunjukkan dan mengingatkan bahwa Nabi Saw. memohon kepada Sang Pencipta agar umat beliau yang besar ini dan orang-orang shalih di antara umat ini merasa bahagia dengan Islam yang mencerminkan kesejahteraan ilahi, serta agar mereka saling menyebarkan salam di antara seluruh orang-orang mukmin, “Assalamu ‘alaika … wa ‘alaikas salam,” yang merupakan syiar umum Islam.
Ucapan, “Saya bersaksi bahwa tiada ilah –yang berhak diibadahi- selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah,” yang disampaikan Jibril a.s. yang beruntung mendampingi Nabi Saw. pada malam berdasarkan perintah ilahi itu, mengabarkan dan mengisyaratkan bahwa umat beliau secara keseluruhan akan memberikan kesaksian ini, dan akan tetap mereka ucapkan hingga hari kiamat.
Dengan mengingat perbincangan suci ini, makna-makna kalimat di atas terbentang meluas.
Yang menyebabkan tersingkapnya hakikat ini, dan yang membantu saya mengetahui masalah ini dengan jelas adalah kondisi ruhani menawan sebagai berikut;
Pada masa lalu, alam besar saat ini terlihat oleh hayalan saya dalam keterasingan kelam di tengah malam nan gelap dalam kelalaian nan gelap, terlihat mati tanpa ruh, terlihat seperti mayit nan kosong dan hampa, terlihat laksana jenazah menyakitkan. Masa lalu juga terbayang oleh saya dalam wujud seperti mayit hampa nan kosong, mencengangkan dan menakutkan secara menyeluruh. Di samping ruang dan waktu nan luas secara mutlak berbentuk tempat nan hampa, gelap, dan sepi. Untuk menghindari kondisi ini, saya langsung shalat.
Ketika saya membaca dalam tasyahud, “Segala penghormatan,” tiba-tiba kehidupan merasuk dalam jagad raya ini, bangkit dan dipenuhi ruhani, kehidupan, dan cahaya, serta menjadi cermin terang dan bercahaya bagi Yang Maha Hidup dan tiada berhenti mengurus makhluk.
Saya mengetahui dan melihat dengan ilmul yaqin, bahkan haqqul yaqin, bahwa jagad raya ini, bersama seluruh bagian makhluk hidup yang ada di dalamnya, selalu mempersembahkan segala penghormatan dan hatidah kehidupan kepada Yang Maha Hidup dan tiada berhenti mengurus makhluk.
Selanjutnya saat saya membaca, “Semoga kesejahteraan terlimpah kepadamu, wahai nabi,” zaman nan hampa dan luas tanpa batas itu berubah dari kondisinya nan sepi dan menakutkan, menjadi wujud nan bersih, lembut, menyenangkan, dan ramai dipenuhi ruh-ruh makhluk hidup di bawah kepemimpinan Rasul mulia Saw.
Pertanyaan kedua;
Tasybih dalam tasyahud akhir pada kata-kata, “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau melimpahkan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim,” tidak sesuai dengan kaidah tasybih,
92. Page
karena Muhammad Saw. mendapatkan rahmat lebih banyak dari yang didapatkan Ibrahim a.s., beliau juga lebih agung dari Ibrahim a.s. Apa rahasianya? Dan apa hikmah mengkhususkan shalawat ini dalam tasyahud?
Meski jika doa dikabulkan meski hanya sekali, tentu sudah cukup. Umat ini secara keseluruhan, memanjatkan doa yang sama sejak dulu kala setiap kali shalat, doa yang sama dengan penuh menghiba dipanjatkan jutaan orang yang menurut kami doa mereka diterima dan tidak tertolak, terlebih ketika permohonan ini disertai janji ilahi. Meski Al-Haq Ta’ala telah menjanjikan dalam firman-Nya;
عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا
“Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra`: 79) Seperti doa ma’tsur yang dibaca setiap kali setelah azan dan iqamat, “Dan bangkitkanlah dia di tempat terpuji (maqam mahmud) yang telah Engkau janjikan kepadanya,” dan seluruh umat berdoa memohon agar Allah memenuhi janji itu. Lantas apa rahasia hikmahnya?
Jawab; ada tiga sisi dan tiga persoalan dalam pertanyaan ini;
Sisi pertama;
Yang benar, sayyidina Ibrahim a.s. tidak mencapai derajat sayyidina Muhammad Saw. Hanya saja, keluarga Ibrahim a.s. berasal dari golongan para nabi, sementara keluarga Muhammad Saw. berasal dari golongan para wali. Dan wali tidak mencapai derajat nabi.
Bukti bahwa doa terkait keluarga Nabi Saw. dan Ibrahim a.s. ini terkabul secara menawan adalah keberadaan para wali hanya berasal dari keturunan dua orang saja di antara 300 juta kaum muslimin. Maksudnya, dari keturunan Hasan dan Husain r.a.
Dengan jumlah mereka yang sangat banyak, mereka adalah para imam dan pembimbing faham-faham serta aliran-aliran yang benar, di samping mereka juga mendapatkan kehormatan sabda Nabi Saw., “Ulama umatku laksana nabi-nabi Bani Israil.”
Mereka yang membimbing sebagian besar umat menuju jalan hakikat dan hakikat Islam, khususnya Ja’far Ash-Shadiq, Syaikh Al-Jailani, dan Syah An-Naqsyabandi, mereka ini adalah buah dari terkabulnya doa umum bagi keluarga Nabi Saw.
Sisi kedua;
Hikmah pengkhususan jenis shalawat ini dalam shalat adalah; mengingatkan seseorang bahwa ia juga menempuh jalan yang dibuka dan ditempuh oleh kafilah besar para nabi dan wali, dimana mereka ini adalah manusia yang paling dikenal memiliki sinar terang ruhani, kesempurnaan, dan keistiqamahan, juga menyertai jamaah agung ini dalam meniti jalan yang lurus sekuat seratus ijma’ dan seratus riwayat mutawatir, dimana mustahil jika kafilah agung ini tersesat jalan, di samping dengan zikir ini ia melepaskan diri dari syubhat-syubhat setan dan ilusi-ilusi buruk.
Adapun bukti bahwa kafilah ini adalah para wali Pemilik jagad raya dan mereka adalah ciptaan-ciptaan-Nya yang dicintai, dan siapapun yang menentang dan memusuhi mereka berarti musuh-musuh-Nya serta makhluk-makhluk-Nya yang paling dibenci; buktinya adalah datangnya pertolongan gaib tiada henti bagi kafilah ini sejak zaman Adam, dan turunnya berbagai petaka langit bagi siapapun yang menentang mereka sepanjang waktu.
Ya, seperti halnya para penentang, seperti kaum Nuh, Tsamud, Ad, Fir’aun dan Namrud, ditimpa pukulan-pukulan gaib dengan cara yang mengesankan murka dan siksa
93. Page
ilahi, seperti itu juga seluruh pahlawan suci kafilah besar seperti Nuh, Ibrahim, Musa, dan Muhammad, mereka mendapatkan mukjizat dan kebaikan rabbani dalam bentuk luar biasa dan juga gaib.
Seperti halnya satu kali tamparan menunjukkan murka dan satu kali penghormatan menunjukkan cinta, seperti itu juga turunnya ribuan tamparan terhadap kaum penentang dan ribuan penghormatan serta pertolongan untuk kafilah besar ini secara pasti dan nyata seterang siang hari menunjukkan kebenaran kafilah tersebut, dan mereka berada di atas jalan yang lurus.
Ayat dalam surah Al-Fatihah;
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ
“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka,” (QS. Al-Fatihah: 7) menatap kafilah tersebut, sementara ayat;
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
“Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat,” (QS. Al-Fatihah: 7) menatap para penentang. Noktah yang kami jelaskan di sini terlihat lebih jelas di bagian akhir surah Al-Fatihah.
Sisi ketiga;
Rahasia dan hikmah permohonan Nabi Saw. terhadap sesuatu secara menghiba, pasti akan diberikan. Dan benar, apa yang diminta Nabi Saw. –tempat terpuji (maqam mahmud) misalnya- adalah puncak dan ranting hakikat terbesar yang berisi ribuan hakikat besar dan penting, juga buah dari hasil terbesar penciptaan jagad raya.
Memohon puncak, ujung, dan ranting pohon tersebut melalui doa, artinya secara tersirat memohon terwujudnya hakikat umum dan besar tersebut, memohon tibanya alam baqa yang merupakan ranting pohon penciptaan yang terbesar , memohon terwujudnya perhimpunan dan kiamat yang merupakan hasil jagad raya terbesar, serta memohon terbukanya negeri kebahagiaan.
Dengan permohonan ini, seseorang juga melibatkan diri dalam ubudiyah dan doa insani yang merupakan sebab utama adanya negeri kebahagiaan dan surga. Doa-doa tanpa batas yang dipanjatkan ini tidak lain dimaksudkan untuk tujuan besar tanpa batas yang dinilai tidak seberapa ini.
Demikian halnya pemberian tempat terpuji (maqam mahmud) kepada Nabi Saw. mengisyaratkan syafaat terbesar beliau untuk seluruh umat.
Demikian pula beliau terkait dan memperhatikan kebahagiaan seluruh umat beliau. Untuk itu, permohonan dan doa rahmat tanpa batas untuk beliau yang beliau minta agar dipanjatkan umat, merupakan inti hikmah itu sendiri.
سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32)